Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Rabu, 17 Agustus 2016

Penjual Sawo dan Kelompok Akrobat



Cerpen Firdaus Yusuf

Mak Midah pernah berkata padaku, jika aku menelan biji sawo, maka biji tersebut akan tumbuh di dalam tubuhku. Akar-akarnya, awalnya, akan menjalar dari usus hingga ke anusku, lalu pelan-pelan, menjalar pula hingga ke tapak kakiku. Akar-akar tersebut sanggup menerobos lantai semen sekalipun. Hingga akhirnya, tatkala mereka menemukan permukaan tanah, lengan dan leherku akan menjadi batang pohon sawo, kata Mak Midah, menutup ceritanya.

Mak Midah adalah salah seorang penjual buah sawo di salah satu sudut emperan toko-toko di Pasar Sigli. Lapak tempat ia berjualan beralaskan tikar yang ia bawa sendiri. Mencoba menghindar dari sengatan matahari, ia taruh kain sarung, yang disangga empat pelepah meria, di atas tempat ia duduk. Di depannya, buah-buah sawo ia susun serupa bentuk piramida.

Ia kerap mengenakan kebaya motif bunga-bunga, kain sarung cokelat, dan selendang hitam. 

 “Jangan kau makan bijinya,” begitu ia biasa berkata usai menerima uang dariku. Pada deretan giginya yang kuning, ada bercak-bercak sirih yang telah lumat.

Saat aku berbalik badan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, Mak Midah biasanya akan memanggilku.

Gam,” teriaknya, “ini ada lebih untuk kau.”

Itulah saat-saat yang paling kubenci. Aku akan melangkah ke tempat ia duduk untuk sekedar mengambil dua buah sawo. Sering aku bertanya dalam hati, mengapa tidak di saat menyerahkan sawo yang kubeli tadi, ia memberi dua sawo tersebut padaku.

Sabtu, 28 Mei 2016

Sajak-Sajak


TONGKAT

ia menemukan tongkat musa
di bantaran krueng tiro
pada suatu sore yang berkabut

dengan tongkat itu, ia pukuli tulang-tulang
belakang yang bungkuk

jadi tegap, sejajar

ia tarik garis batas
ia belah tanah kering kerontang jadi
sungai yang mengaliri sawah petani

orde baru merampas tongkat itu darinya,
lalu menyembunyikan benda tersebut

bertahun-tahun kemudian,
seorang pemuda bertubuh pendek
dan berkulit putih,
berhasil mencurinya

tongkat itu dijadikannya peta
yang bisa bicara

suara  peta itu
terdengar hingga ke tempat-tempat
yang paling sunyi di padang afrika

belum lama bala berlalu,
tongkat keramat itu
jadi tiang-tiang tanpa bendera
di depan pendopo bupati
di pesisir timur-utara,
juga jadi tiang kolom istana
  

Kamis, 24 Maret 2016

BIRONG



Cerpen Firdaus Yusuf

Ilustrasi: Tauris Mustafa


DI SALAH satu stadiun sepakbola di Kota Sigli, pada suatu sore yang mendung, Birong, seorang polisi berwajah bengis yang beberapa tahun ke depan akan pensiun, mencoba mendiamkan caci-maki yang dialamatkan para penonton pada seorang pemain sepakbola berkaki pendek dan berambut cepak dari kesebelasan tuan rumah.

Kesebelasan mereka sendiri. Pemain sayap kiri itu sering dimaki penonton karena selalu salah memberi umpan.

“Ayam sayur sialan,” teriak seorang penonton. “Tempatmu bukan di sini, tapi di panti pijat!”

Birong mengira kemasyuran namanya, yang beberapa tahun silam mampu membuat pelayan di kedai minum yang disinggahinya enggan menerima uang usai ia minum kopi di sana, bisa menghentikan penonton mengucapkan kata-kata yang tak pantas itu.

Tapi ternyata, nama besarnya tidak berarti apapun di hadapan penonton yang marah dan kecewa. Ia berdiri berkacak pinggang dan menghadap ke arah tribun penonton. Ketika melihat wajah Birong, seorang pedagang ikan di Pasar Sigli bangkit dari tempat duduknya, menunjuk ke arah Birong berdiri seraya berseru, “Anjing hitam!” Mendengar kata-kata itu, Birong naik pitam.

Kamis, 17 Maret 2016

Hikayat Emping Melinjo



 Cerpen Firdaus Yusuf

Ilustrasi: Tauris Mustafa
DI SEBERANG sebuah anak sungai di Pidie, kau akan menemukan sebuah kampung di mana pohon-pohon melinjo tumbuh berhimpitan. Jika kau masuk ke kampung itu, kau akan menjejakkan kaki di atas jalanan berbatu dan berlubang nan sunyi tempat lutung-lutung duduk, berjalan, atau berlari tanpa ada seorang pun yang mengganggu. 

Bertahun-tahun silam, sebelum ditutupi tanaman liar setinggi pusar orang dewasa, jalanan tersebut sering dilalui sepeda motor para pengepul emping melinjo. Apabila kau berjalan menyusuri lebih jauh ke dalamnya, kau akan bertemu dengan seorang perempuan dengan bola mata yang seakan tampak putih, yang tengah menunggu roh suami dan anak-anaknya pulang ke rumah.

Dalam penantiannya itu, saban hari, dia menyibukkan diri dengan menghempaskan palu besi yang kepalanya dibalut plastik putih, ke atas melinjo-melinjo yang sebelumnya telah dikupas kulitnya dan telah digongseng dengan kerikil. Gerakannya bagai hakim yang mengetuk palu sidang. Hanya saja perempuan itu mengayun benda itu berkali-kali, di atas sebuah alas dari kayu sawo selebar lubang sumur. Dia tak pernah peduli pada peluh yang membasahi lehernya.

Perempuan itu Hasanah, ibu dua anak. Para penggembala sapi menghormatinya, karena dia tak bisa dibunuh waktu; tak dapatdihancurkan hujan dan kemarau dalam penantiannya menunggu suami dan anak-anaknya pulang.

Berdasarkan penuturan para penggembala sapi aku menulis kembali cerita ini. Di depan tempat Hasanah duduk memipihkan buah melinjo, tampak sebuah pagar bambu berdiri goyah. Pagar bambu itu melingkari rumahnya yang berdiri di tengah-tengah pepohonan melinjo. Rumah itu sekilas terlihat tak berpenghuni, karena dinding-dindingnya ditumbuhi semak-belukar yang merambat liar. Di sisi kiri rumah itu, sebuah talang air mencuat, dan lumut menggerogoti seluruh bagiannya. Mata Hasanah tertuju ke arah talang air di rumahnya tersebut. Lubang kecil yang menganga itu membuatnya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dalam masa-masa menatap talang air itulah, ia kembali terkenang kepulangan kedua putranya pada suatu sore di bulan Desember, manakala hujan sering turun dengan deras dan membuat halaman rumahnya becek.

Selasa, 15 Maret 2016

Cot Gle


Cerpen Firdaus Yusuf
Ilustrasi: Tauris Mustafa


RUMAH PANGGUNG kami yang berjarak 500 meter dari sebuah benteng di tepi pantai bergetar. Peralatan masak ibu di dapur berserakan di lantai tanah. Belanga-belanga jerami pecah. Kopiah ayah di atas meja rotan berpindah-pindah. Ibu membungkus barang-barang bawaan seadaanya dengan kain sarung. “Bergegaslah. Sebentar lagi kafir-kafir yang jumlahnya lebih banyak daripada ikan teri di pasar akan menembus benteng,” kata Ayah pada Ibu.

“Ceudah…,” Ayah memanggilku saat aku, Ibu dan adikku, sudah berbalik badan. Lalu dia mengambil rencong yang terselip di pinggangnya. “Ini!”

Di ambang pintu, Ibu yang menggendong adik perempuanku, menatap Ayah dengan tatapan kosong. Kulihat mata Ayah dan Ibu berkaca-kaca. Adikku menangis terus sedari tadi. Tak ada keharuan yang berlebihan di pagi buta itu. Itu hari terakhir aku bertemu Ayah.

Aku bersama adik perempuanku yang masih berumur tiga tahun dibawa Ibu keluar dari kampung bersama kaum perempuan lainnya. Perang tak kunjung reda meskipun perang besar dan terbuka telah usai. Berbulan-bulan kami berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain. Suatu pagi, aku, Ibu, dan adikku, serta beberapa tetanggaku memberanikan diri pergi ke bandar karena tak ada lagi makanan yang tersisa. Tapi, kami tak mendapatkan apa-apa di sana. Kedai-kedai tutup. Yang ada hanya puing-puing reruntuhan bangunan di sekitar Masjid Raya. Kulihat sudut-sudut bandar dihuni oleh serdadu Belanda. Bandar penuh dengan bangunan dari kayu yang tak terlalu besar, yang dilingkari dengan kawat-kawat berduri setinggi pria dewasa. Serdadu-serdadu Belanda itu, ada yang putih seperti cicak; dan ada juga yang hitam, mirip lutung.

Jumat, 12 Februari 2016

Petualangan Sang Aristokrat

Oleh Firdaus Yusuf



HAJI MURAD, seorang pejuang Chechnya yang karismatik dan begitu gigih melawan tentara kekaisaran Rusia yang ingin menduduki tanah mereka, tak nampak gusar sedikitpun tatkala mengadapi maut yang sedang mengintainya. Shamil, imam yang memimpin bangsa Chehchnya-nya melawan Rusia, dengan berbagai cara tengah berupaya untuk menghabisi nyawanya. Ia mulai terusik dengan popularitas Haji Murad di tengah-tengah rakyat. Sosok Haji Murad, menurut Shamil, mengancam posisinya.
                                                                    
Haji Murad tampak tenang dan bersikap seolah tak ada hal yang perlu dirisaukannya. Tapi bukan berarti ia membiarkan dirinya lengah. Dalam keadaan tertidur sekalipun, ia bisa mencium bau maut yang tengah mengintainya, dan ia selalu berhasil meloloskan diri. Firasatnya memainkan peran yang sangat penting dalam masa-masa pelariannya itu. 

Bersama tiga pengikut setianya, Haji Murad akhirnya berhasil mendatangi pihak Rusia. Mereka disambut dengan suka-cita. Bagaimana tidak, musuh bebuyutan Rusia ini menyerahkan diri secara suka rela dan, hal itu tak pernah terbayangkan dalam benak jenderal Rusia manapun sebelumnya.

Tapi yang terjadi kemudian justru hal yang tak pernah ia duga: Shamil menculik ibu, kedua istri, dan anak-anaknya tak lama setelah ia menyerahkan diri pada pihak Rusia.

Sejak mengetahui kejadian itu, Haji Murad cemas bukan kepalang meskipun hal tersebut hanya nampak lewat pergulatan batinnya. Ia kemudian meminta pihak Rusia membantu membebaskan keluarganya lewat proses pertukaran tawanan. Tapi hal tersebut ditanggapi pihak Rusia seadanya. Berhari-hari Murad hanya menerima “angin surga”.

Terus-terusan digeluti kecemasan seperti itu, Haji Murad kerap tercenung sendiri, hingga suatu ketika tergiang olehnya “kisah Tavlin tentang seekor burang elang yang tertangkap, hidup bersama manusia, lalu kembali ke gunung untuk hidup bersama kawannya. Dia kembali, tapi mengenakan tali, dan di tali itu terdapat bel kecil”. (hal. 206).

Kelak, Haji Murad bersama tiga pengikutnya itu membunuh tentara-tentara Cossack (tentara kekaisaran Rusia)  saat mereka melarikan diri. Tapi akhirnya ia dan tiga murid-nya itu mati terbunuh. Mereka melawan sekuat tenaga yang mereka punya sebelum ajal menjemput.

Kamis, 01 Oktober 2015

Musmarwan Abdullah

Oleh Firdaus Yusuf

Ia yang mencari Pram dan menulis kisah-kisah yang tak muncul di suratkabar kala operasi militer di Aceh berlangsung hingga ke kampung-kampung.

SUATU hari di tahun 1980, ketika sedang berada di rumah salah seorang temannya, Musmarwan Abdullah menemukan sebuah tong berisikan buku-buku.  Buku-buku yang ada dalam tong itu tampak berdebu, tak terurus. Ia lantas meminta izin pada temannya untuk membawa pulang beberapa buku yang ada di dalam tong tersebut ke rumah yang, kemudian diiyakan oleh si teman.

“Saya menemukan buku-buku filsafat Jerman yang masih dalam ejaan yang belum disempurnakan,” kata dia, Selasa, 15 September, 2015.

Ternyata, ia juga menemukan tong-tong buku yang nyaris tak pernah lagi disentuh di rumah teman-temannya yang lain.

“Kakek-kakek teman saya itu umumnya pejabat di masa Orde Lama. Ada yang polisi, jaksa...,” kata dia. “Tapi,  kemudian saya heran, mengapa generasi ayah teman-teman saya tidak mempedulikan tong-tong tersebut. Tidak membaca buku-buku itu.”

Menurutnya, budaya membaca generasi Orde Lama lebih tinggi dibandingkan dengan generasi Orde Baru. “Saya kira, buku-buku terjemahan atau saduran dari bahasa asing yang bagus pun lebih banyak diterbitkan di masa Orde Lama,” kata dia, dalam suara yang agak tertahan.

Malam itu, kami berbincang-bincang di Kedai Kopi Famili 100 Sigli, tempat di mana biasanya Musmarwan menghabiskan waktu senggang. Cara bertuturnya lirih tapi tegas.

Kami duduk menghadap jalan raya, di bawah pohon seri. Musmarwan, yang malam itu dalam setelan baju kaus rajut lengan panjang dan jins biru, bercerita tentang pengalaman membaca dan karir menulisnya. “Dulu, awalnya kan saya waktu kecil biasa baca cergam, cerita bergambar,” tutur Musmarwan. “Saya dan teman-teman saling mengumpulkan uang untuk membeli cergam.”

Pria bertubuh tinggi-besar itu berkisah, saat duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Beureunun, Pidie, Aceh, di penghujung tahun 1986, ia pergi ke salah satu toko buku yang ada di depan sekolahnya. Ketika tengah memilih buku untuk dibeli, ia menemukan sebuah buku yang ditaruh di rak depan. Judulnya: Bumi Manusia.

Ia penasaran dengan judul buku tersebut. Sepertinya, itu buku ilmu alam (Geografi), bumi, manusia, pikirnya.

Musmarwan lalu membeli buku itu. Sesampainya di rumah, ketika ia mulai membacanya, baru ia tahu kalau buku yang ia beli tersebut adalah sebuah novel sejarah karya Pramoedya Ananta Toer. Bukan buku pelajaran sejenis Geografi.

 “Saya suka ceritanya,” ungkap Musmarwan, terkekeh. “Saat itu saya pun belum begitu tahu siapa itu Pramoedya.”

Setelah menamatkan SMA, Musmarwan hijjrah ke Medan, Sumatera Utara. Ia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi, Universitas Medan Area. Fakultas Psikologi tempatnya sempat tercatat sebagai mahasiswa, kata Musmarwan, adalah Fakultas Psikologi pertama di luar Pulau Jawa yang diizinkan oleh Orde Baru.