Cerpen Firdaus Yusuf
Mak
Midah pernah berkata padaku, jika aku menelan biji sawo, maka biji tersebut
akan tumbuh di dalam tubuhku. Akar-akarnya, awalnya, akan menjalar dari usus
hingga ke anusku, lalu pelan-pelan, menjalar pula hingga ke tapak kakiku.
Akar-akar tersebut sanggup menerobos lantai semen sekalipun. Hingga akhirnya,
tatkala mereka menemukan permukaan tanah, lengan dan leherku akan menjadi
batang pohon sawo, kata Mak Midah, menutup ceritanya.
Mak
Midah adalah salah seorang penjual buah sawo di salah satu sudut emperan toko-toko
di Pasar Sigli. Lapak tempat ia berjualan beralaskan tikar yang ia bawa sendiri.
Mencoba menghindar dari sengatan matahari, ia taruh kain sarung, yang disangga
empat pelepah meria, di atas tempat ia duduk. Di depannya, buah-buah sawo ia
susun serupa bentuk piramida.
Ia
kerap mengenakan kebaya motif bunga-bunga, kain sarung cokelat, dan selendang
hitam.
“Jangan kau makan bijinya,” begitu ia biasa
berkata usai menerima uang dariku. Pada deretan giginya yang kuning, ada
bercak-bercak sirih yang telah lumat.
Saat
aku berbalik badan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, Mak Midah
biasanya akan memanggilku.
“Gam,” teriaknya, “ini ada lebih untuk
kau.”
Itulah
saat-saat yang paling kubenci. Aku akan melangkah ke tempat ia duduk untuk
sekedar mengambil dua buah sawo. Sering aku bertanya dalam hati, mengapa tidak
di saat menyerahkan sawo yang kubeli tadi, ia memberi dua sawo tersebut padaku.